Rabu, 24 September 2014

Sepenggal Cerita Perjalanan Hidup Seorang Anak Nelayan

Dahulu semuanya terasa biasa-biasa saja. Masuknya perusahan seolah-olah membawa dampak baik bagi kemajuan suatu daerah. Kurang lebih 3 Tahun saya merasakan hal itu menjadi anak yang Ayahnya menjadi satpan diperusahaan. Awalnya semua baik-baik saja, mereka begitu baik dan ramah bahkan mereka sering memberi oleh-oleh ketika pulang ke kota dan kembali ke kampung saya.

 Sejak duduk di kelas 3 SD kehidupan yang penuh perjuangan itu telah saya rasakan dan saya nikmati. Kadang bahagia dan kadang hanpa. Ayah seringkali tak pulang karena berada jauh di pegunungan. Sampai suatu hari Ayah berhenti menjadi satpam katanya dia bosan dengan pekerjaan tersebut.

Ayah adalah seorang nelayan, dia lebih nyaman menjadi seorang nelayan yang bertarung dengan gelombang dan angin kencang ditengah laut. Jadi Ayah merindukan hal itu katanya. Tahun 2005 aku masuk SMP kakaku yang giliran masuk perusahan ekplorasi. Semuanya masih terasa biasa saja. Setiap 1-2 bulan sekali dia turun/pulang kerumah. Pasti sangat senang ketika dia pulang karena membawah oleh-oleh berupa Shampo dan Sikat gigi baru. Rasanya senang ketika menerima itu dari kakak. 

Hampir 2 tahun lebih dia berkecimpung di dunia pertambangan. Sampai suatu ketika dia memutuskan untuk keluar dan ingin melanjutkan kulia. Katanya ada seorang Bapak yang menginspirasinya "bahwa menyesal kalau tidak kulia”, kerja bisa kapan-kapan tetapi kulia tak bisa kapan-kapan karena dibatasi usia". Tahun 2007/2008 kakak memutuskan berangkat ke Sorong, Papua Barat untuk menempuh studi disana. Semuanya masih terasa biasa.

Tahun 2008 bulan september saya masuk SMA dan ceritanya dimulai dari sana. Laut yang dulu bersih mulai terlihat kotor dan terdapat lumpur didasar laut. Pesisir pantai yang terlihat cantik mulai bercampur warna menjadi orange dan berlumpur. Ikan yang dulunya tampak lezat dimakan mulai hambar rasanya. Semuanya mulai berubah dan semakin berubah. Banyak masayarakat yang berbondong-bondong melamar pekerjaan, banyak Home Stay dan Kos-kosan dibangun. Dan Buli semakin ramai didatangi warga baru setiap minggu dan bulannya. 

Hal ini justru terlihat baik dan biasa saja bagi mereka yang melihat itu bukan masalah, tetapi tidak dengan saya. Termotivasi dari seorang Guru SMA saya sebut saja Pak Amir (Kepala Sekolah Saya) dia berkata Guru yang sukses ketika siswanya lebih cerdas darinya. Kata-kata itu mungkin terdengar biasa saja tetapi sedikit membuat saya berpikir apa masksudnya? Saya berterimaksih kepada guru-guru saya yang selalu memberi semangat dan pencerahan kepada saya. 

Dengan meilhat semuanya itu saya mulai berpikir, benar apa kata guru saya, saya harus mampu untuk memahami apa yang belum dia pahami atau yang lainnya. Saya anak nelayan dan petani jika semuanya rusak oleh pertambangan akan kemana hidup keluarga saya. Mungkin berkerja diperusahan mendapat gaji yang besar tetapi belum tentu dapat memberikan kenyamanan. 

Kita bekerja menjadi pembantu dinegeri sendiri dan diberi gaji yang sangat murah. Sampai pada tahun 2011 saya memutuskan untuk berangkat ke Jogja untuk melanjutkan studi. Sebenarnya saya mendapatkan beasiswa dari Antam untuk kulia disalah satu univeritas Negeri di Jawa sebagai anak daerah, tetapi saya menolak karena dalam hati saya saat itu saya ingin berjuang dan diterima dikampus dengan usaha saya sendiri. Hal itu mengantarkan saya tiba ditempat ini dan sampai saat ini saya terus berusaha agar mampu mengemban tugas yaitu "saya harus lebih cerdas dari Guru saya"
 

Tidak ada komentar: